Sinurat

patota

Istilah "Sinurat" merujuk pada nama leluhur marga Sinurat, yaitu Ompu Sinurat.[1] Nama ini kemudian menjadi identitas yang melekat pada nama keturunannya: Pomparan Ompu Sinurat. Sinurat adalah nama anak pertama dari Sinabutar Raja Parmahan, cucu dari Raja Bungabunga / Raja Parmahan, dan cicit dari Sondiraja. Sondiraja sendiri merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara dari Silahisabungan. Ini berarti Sinurat adalah generasi kelima dari Silahisabungan. Hingga kini nama atau identitas "Sinurat" melekat erat sebagai marga bagi seluruh keturunan Ompu Sinurat. [2]

Masa Kecil

patota

Tak lama setelah kelahiran Sinurat di Harangan Parik, Sinabutar Raja Parmahan (Sinabutar II) membawa bayinya itu menemui keluarga Tulang Manurung yang juga berada di Sionggang. Bersama ompung boru Pinta Omas Manurung, Sinabutar Raja Parmahan berangkat dari rumahnya di Harangan Parik, Sionggang Tengah menuju rumah simatua-nya yang tak jauh dari rumahnya di Sionggang. Di Tulang Manurung inilah Sinurat diberkati menurut adat Dalihan Natolu.[3]

Tulang Manurung (saudara laki-laki dari Pinta Omas) menaruh boras si pir ni tondi (beras peneguh jiwa) ke atas kepala bayi Sinurat, sembari menghantarkan doa dan harapannya, “Asa marurat dainang pangintubu, marurat ma tubu ni sinurat, anak ni sinabutar raja parmahan” saat melangsungkan ritual meminta berkat dari Tulang Manurung (pihak keluarga ibu) untuk bayi Sinurat dalam adat Dalihan Natolu. Ritual adat ini merupakan ungkapan syukur atas kelahiran bere dan pahompu Ompuni Unggul Manurung.

Pada kesempatan itulah bayi sulung dari Sinabutar Raja Parmahan itu diberi nama Sinurat oleh Tulang-nya. Konon nama "Sinurat" mengingatkan Tulang Manurung atas pesan yang pernah ia sampaikan kepada Sinabutar Raja Parmahan dan Pinta Omas Manurung saat pernikahan mereka. Inilah pesan yang dimaksud: “Naung marbagas do hamu nuaeng inang. Dibahen i sai denggan ma hamu marsianju-anjuan jala marsihaholongan. Sai situbu laklak ma hamu situbu singkoru di dolok ni Purbatua, sai situbu anak ma hamu tubuan boru, donganmu sarimatua. Sai marurat ma hamu tu toru, marjujungan tu ginjang, mardangka tu lambung, sigodang pangisi jala sideak pinompar. Martumbur ma baringin, mardangka ma hariara, sai matorop ma hamu maribur, martangkang ma juara, sai matotop maribur ma hamu songon siatur maranak, sai matorop masere ma hamu songon si atur nabolon.” [4][5]

Inti dari pesan ini adalah harapan dari keluarga Ompuni Unggul Manurung agar boru mereka segera mendapatkan keturunan yang banyak. Menurut penuturan Tulang pomparan Ompuni Unggul Manurung, nama Si Marurat atau Sinurat berasal dari nasihat di atas. Nama “Sinurat” ini di kemudian ia wariskan kepada keempat anaknya dan kepada kita semua "Pomparan Raja Sinurat". Sinurat lahir sekitar tahun 1533 di Harangan Parik, yang di era Penjajahan Kolonial Belanda termasuk wilayah Sibisa. Sinabutar Raja Parmahan sendiri memiliki nama kesayangan untuk anaknya, yakni Baga atau si Baga. Nama lain dari Sinurat adalah Ompu Ombun / Ompu Haroan.

Sinurat seorang petani, dengan warna kulit kuning langsat dan tinggi badan sekitar 168 cm atau tinggi rata-rata orang Indonesia. Ia sosok yang cukup gagah, kendati agak pendiam. Ia sosok yang tekun, gigih pekerja keras dan santun. Di atas semua gambaran di atas, yang jelas Sinurat adalah sosok sederhana.

Saat ini Pomparan Sinurat telah mencapai sekira 15.000-an jiwa atau 3000-an kepala keluarga (KK). Pendidikan mereka memang masih tergolong rendah, karena dari mereka masih ada yang buta huruf. Sebagian besar masih hanyan tamatan SD, tamatan SMP atau tamatan SLTA; dan sebagian kecil merupakan lulusan dari Perguruan tinggi (S1, S2 dan S3). Kendati demikian, dari pomparan Sinurat telah ada yang mencapai pangkat Jenderal di kepolisian dan Profesor di bidang pendidikan. Beliau adalah Brigjen (Purn). Jannes Sinurat dan Prof. Dr. Arnold Sinurat.

Sebagian besar dari marga Sinurat bekerja sebagai petani, wiraswasta, pengusaha, guru, dokter, polisi, hakim, ASN, pendeta / pastor / ustad, dosen dan profesi lainnya. Mereka bermukim di huta na ualu atau tersebar di seluruh di indonesia, bahkan di luar negeri. Sementara tingkat kesejahateraan pomparan Sinurat adalah 30% prasejahtera, 63% sejahtera dan 7% sejahtera plus. Dari 15.000-an jiwa terdapat sekitar 750 jiwa yang masing menganggur. Akhrinya, situs terkenal dari marga Sinurat adalah Aek Sitobusira yang terletak di Pardugul, Buhit, Pangururan.

Istri Tercinta

patota

Menelusuri sosok Tapian Boru Manurung[6], istri Sinurat tak bisa dipisahkan dari relasi keluarga antara Raja Silahisabungan dan Raja Mangarerak. Bila dirunut ke belakang, perkawinan Raja Silahisabungan dan Milingiling masih berlanjut ke tingkat keturunannya, yakni antara Tambun Raja dan Pinta Haomasan. Pada generasi ketiga dan keempat memang tidak ada perkawinan antara pomparan Raja Silahisabungan dengan boru dari pomparan Raja Mangarerak. Namun pada generasi kelima terjadi lagi perkawinan antar kedua pinompar, tepatnya perkawinan antara Sinabutar Raja Parmahan (Sinabutar II) dan Pinta Omas Boru Manurung, boruni Ompuni Unggul. Akhirnya, pada generasi keenam terjadi perkawinan antara Raja Sinurat dengan pariban-nya bernama Tapian Boru Manurung, boruni Guru Mandumpas atau pahompu dari Ompuni Unggul.

 
Relasi antara Raja Silahisabungan dan Raja Mangarerak

Bila disejajarkan dalam tarombo Raja Mangrerak dan tarombo Silahisabungan, maka kita akan mendapati fakta pada generasi keberapa saja keturunan Raja Silahisabungan menikahi pariban-nya dari keturunan Raja Mangatur. Melalui perkawinan antara Raja Sinurat dan Tapian Boru Manurung, maka telah terjalin ikatan keluarga secara berkesinambungan dari pomparan Raja Silahisabungan dan pomparan Raja Mangarerak. Hal ini juga megarahkan kita pada jawaban atas pertanyaan tentang “Siapa ompu boru / istri Raja Sinurat?”. Dialah Tapian Boru Manurung, puteri Guru Mandumpas atau cucu dari Ompuni Unggul.[7]

Dengan demikian kita bisa membedakan tiga boru Manurung yang dinikahi oleh keturunan Raja Silahisabungan, yakni (a) Pinta Haomasan dan Tambun Raja (anak dari Silahisabungan), (b) Pinta Omas dan Sinabutar Raja Parmahan (anak Si Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan), dan (c) Tapian dan Raja Sinurat (anak dari Sinabutar Raja Parmahan). Ketiganya adalah boru Manurung dari keturunan Raja Mangarerak, teman sekaligus mertua dari Silahisabungan.

Asal Muasal (Bonapasogit)

patota

Melacak bonapasogit Raja Sinurat bukan perkara mudah. Sejak awal sebagian marga Sinurat percaya bahwa bonapasogit Raja Sinurat adalah Sibisa, namun sebagian lagi menyebut Samosir, Lumban Pea, dan yang lain menyebut beberapa tempat lain yang diyakini sebagai bonapasogit Sinurat. Dalam menelusuri bonapasogit Raja Sinurat penulis buku Sejarah dan Tarombo Sinurat, Lusius Sinurat melakukan pendekatan/metode penelitian sejarah melalui teknik pengumpulan data dan evaluasi data secara sistematis untuk menggambarkan, menjelaskan, dan memahami peristiwa yang terjadi di masa lalu. Dengan metode penelitian ini Lusius Sinurat menguji kebenaran tentang sosok Sinurat, masa kecilnya, bonapasogit-nya, istri dan keturunannya, bahkan peristiwa tertentu yang menyisakan pesan tertentu terkait dengan Sinurat di masa lau. Selanjutnya penulis berupaya menghindari ketidakterkaitan antar-peristiwa dalam sejarah Sinurat. Sejalan dengan hal itu penulis juga hendak memastikan sejarah Sinurat ini berkaitan dengan keberadaan marga Sinurat saat ini.

Di bawah ini penulis bentangkan analisa data yang kami peroleh dari lapangan dan berbagai pustaka tentang bonapasogit Raja Sinurat. Sebagaimana telah disinggung di atas ada tiga lokasi (huta) yang paling sering disebut sebagai bonapasogit Raja Sinurat, yakni Sibisa, Simarbane dan Harangan Parik. Penulis menggunakan empat tahapan penulisan sejarah dalam menganalisa ketiga tempat (huta / kampung / desa) tersebut. Proses pengumpulan informasi atau pengumpulan sumber untuk penelitian sejarah yang dilakukan (Heruristik). Kami telah turun ke lapangan, mendatangi ketiga lokasi di atas dan mewawancarai pinompar Sinurat, tokoh dan pemerhati Sinurat, masyarakat setempat, dll (sumber primer), ditambah pengumpulan informasi secara tidak langsung melalui media kabar, buku, jurnal atau majalah (sumber sekunder).

Verifikasi atau Kritik Sumber yang telah kami kumpulkan pada tahap pertama. Sumber sejarah itu kemudian kami uji dari segi keaslian dan kredibilitasnya. Ada dua macam kritik yang kami lakukan, yakni kritik eksternal (kritik atas keaslian sumber, waktu atau penanggalan sumber) dan kritik internal (kritik atas kredibilitas sumber dengan menguji sumber, baik secara benda, tulisan ataupun lisan). Selanjutnya kami melakukan cek silang antara informasi dan informan yang satu dengan informasi/informan lainnya. Interpretasi atau menganalisa dan membandingkan fakta yang satunya dengan fakta yang lainnya, sehingga fakta-fakta yang ada dapat dijadikan kesatuan yang masuk akal. Akhirnya, pada tahap keempat kami mulia melakukan historiografi (penulisan sejarah berdasarkan sumber-sumber yang telah kami temukan, nilai, seleksi dan kritisi).

Melalui keempat tahapan penelitian sejarah di atas, kami memaparkan hasil penelitian kami terkait bonapasogit Sinurat:

  • Lokasi 1: Sibisa

Berdasarkan sumber primer (penelitian lapangan dan wawancara narasumber: dongan tubu Sinurat, anggi doli Nadapdap dan Tulang Manurung) dan sumber sekunder (buku Tarombo Silahisabungan, Tarombo Raja Parmahan, Tarombo Toga Manurung, Tarombo Nadapdap, dst) terkait dengan Sibisa disimpulna bahwa Sinurat samasekali tidak pernah marhuta di Sibisa. Penulis tidak menemukan warisan tertulis, bekas parhutaan Raja Sinurat (non-factum). Begitu juga kami tak menemukan satu buku tarombo marga silahisabungan, Raja Parmahan, dst yang secara spesifik mengatakan bahwa bonapasogit Raja Sinurat adalah Sibisa (non-datum). Status Nadapdap, adik Sinurat sebagai “pendatang” di Sibisa semakin menegaskan fakta bahwa Sibisa bukanlah bonapasogit Sinabutar Raja Parhaman atau Raja Sinurat sebagai abangnya. Pada akhirnya Nadapdap memang marhuta dan marharajaon di Sibisa.

 
Tugu Raja Nadapdap di Sibisa

Penyebutan Sibisa sebagai bonapasogit Raja Sinurat terkait erat dengan tambak (makam) Sinabutar Raja Paramahan (ayah Sinurat, Nadapdap dan Doloksaribu) yang ditemukan di Sibisa oleh seorang namarbinoto bermarga Panjaitan, sebelum tulang-belulangnya dipindahkan ke Tugu Raja Parmahan di Balige Raja. Penemuan makam ini tidak menjelaskan bonapasogit Sinabutar Raja Parmahan. Ompung Boru Pinta Omas Manurung sendiri bukanlah orang Sibisa, melainkan orang Sionggang; dan dipercaya bahwa Sinabutar marhuta di kampung mertuanya, dekat Sionggang dan mendapat warisan berupa tanah dari mertuanya di sana. Mengingat jarak yang tak terlalu jauh dari Sionggang maka Harangan Parik lebih masuk akal sebagai huta Sinabutar daripada di Sibisa. Di Harangan Parik inilah Sinurat dan Nadapdap lahir dan bertumbuh dewasa.

Data BPS Kabupaten Toba (2019) tidak menyebutkan kalau Sinurat adalah marga yang punya ikatan historis dengan Sibisa, alih-alih memiliki bius atau harajaon sendiri di sana. Dari hasil wawancara kami dengan Tulang Manurung (Dr. Togar Manurung), anggidoli Tambunan dan Nadapdap, kepala desa setempat dan beberapa warga Sibisa yang dipilih secara acak, kami mendapati fakta bahwa Sinurat tidak pernah marhuta di Sibisa. Sebagai informasi tambahan, marga dominan di Sibisa, baik Parsaoran Sibisa maupun Pardamean Sibisa adalah marga Sirait dan Nadapdap.

Pendapat di atas dipertegas dengan sebuah arsip P. Sinurat yang diketik pada bulan Maret 1985 yang penulis peroleh dari Edison Sinurat. Arsip ini mencatat bahwa ketiga anak Sinabutar Raja Parmahan berangkat (pergi merantau) dari Harangan Parik menuju Sibisa (Nadapdap), Lumban Nabolon dan Nagatimbul (Doloksaribu); dan Sinurat menetap di Harangan Parik. Arsip ini selaras dengan fakta bahwa keberadaan Pinta Omas Manurung (boruni Ompuni Unggul) yang dinikahi Sinabutar Raja Parmahan berasal dari Sionggang, dan Tulang Manurung mereka mereka “panjaean” berupa tanah dan tempat tinggal yang letaknya tak jauh dari Sionggang. Hampir pasti tempat yang imaksud itu bukanlah Sibisa, melainkan Harangan Parik, Sionggang.

  • Lokasi 2: Simarbane

Huta Simarbane disebut dalam Penelitian Dr. Mangara Sihaloho (pomparan Raja Sinaloho, anak pertama Raja Bungabunga). Mangara membuka sebuah opsi tentang bonapasogit Sinabutar Raja Parmahan dan anaknya Raja Sinurat. Mangara tidak menyebut secara spesifik Simarbane adalah bonapasogit Sinurat. Penyebutan Simarbane yang terletak di Sionggang Selatan ini dikaitkan dengan perjalanan Sinabutar Raja Parmahan dari Silalahi Pagar Batu, Balige Raja (Huta Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan) dengan naik solu (sampan) menuju Sionggang dengan menyusuri pantai Danau Toba. Masuk akal juga apabila Sinabutar masuk Sionggang lewat pantai Sionggan Selatan, tak jauh dari Huta Simarbane.

Perkenalan hingga perkawinan Sinabutar Raja Parmahan dan Pinta Omas Manurung, boruni Ompuni Unggul Sionggang menjadi petunjuk bahwa jarak antara Simarbane dan huta ni Ompuni Unggul Manurung di Sionggang tidaklah jauh. Kendati demikian, pendapat ini sempat diragukan Tulang Dr. Togar Manurung, mengingat makam Sinabutar justru “ditemukan” di Sosor Pea sebelum saring-saring-nya dipindah ke Tugu Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan di Balige Raja. Bisa saja Tulang Togar Manurung benar. Namun makam (tambak) Sinabutar sendiri baru ditemukan belakangan, menjelang peresmian Tugu Raja Parmahan tahun 2008. Beberapa saksi mengatakan kalau kuburan itu ditemukan oleh seorang namarbinoto (datu) bermarga Panjaitan.

Pilihan Simarbane sebagai bonapasogit Raja Sinurat dengan demikian justru meragukan, karena sang ayah, Sinabutar Raja Parmahan justru tidak pernah tinggal di Simarbane. Fakta bahwa Sinabutar tak pernah menetap di Simarbane hingga wafatnya semakin menegaskan bahwa bonapasogit Sinurat bukanlah di Simarbane. Apalagi, belakangan kami justru dikejutkan dengan sebuah fakta bahwa yang tinggal dan menetap di Simarbane itu bukanlah Sinabutar Raja Parmahan atau Raja Sinurat, melainkan keturunan Raja Tano, tepatnya dari pomparan Ompu Sorgo (anak bungsu dari Ompu Tabar). Ompu Tabar sendiri adalah anak sulung dari Raja Tano, dan Raja Tano merupakan anak sulung Raja Sinurat.

 
Simarbane - Sibisa

Pendapat serupa ditegaskan oleh Jasiman Sinurat (77 tahun) / br. Barimbing yang lahir dan besar di Simarbane, dan kini menetap di Tipar Semper, Jakarta Utara. Menutur Jasiman atau Op. Deni, informasi yang mengatakan Sinurat berasal dari Simarbane itu tidak tepat, karena hanya ada dua kepala keluarga (2 KK) bermarga Sinurat di Simarbane, dan kedua KK itu telah menetap di sana selama empat generasi.

Leluhur mereka datang dari Huta Joring dan Lumban Pea. Konon katanya, Huta Joring yang mereka tinggalkan sempat diberikan kepada Raja Pagi sebagai tempat tinggal, namun belakangan mereka ambil lagi dari Raja Pagi.

Simarbane adalah kampug kecil yang letaknya tak berdekatan dengan air terjun Situmurung, salah satu destinasi wisata yang kini cukup ramai dikunjungi wisatawan domestik. Di Simarbane inilah keturunan Ompu Sorgo tinggal di huta yang berada di pesisir pantai Danau Toba itu. Sebagain dari mereka bekerja sebagai nelayan dan menangkap ikan di Danau Toba. Oleh karena dataran huta Simarbane terlalu miring, mereka memutuskan untuk pindah ke atas Simarbane, sekitar 700 meter dari pantai. Sebagai buktinya, rumah-rumah marga Sinurat di Simarbane masih ada sampai sekarang. Sejauh ini, maryoritas marga yang tinggal di Simarbane adalah Manurung dan Sirait. Artinya, sejarah huta Simarbane yang berhadapan dengan Sitamiang Onanrunggu di Samosir itu tidak terbukti sebagai bonapasogit Raja Sinurat.

Tak ada bukti akurat yang menegaskan bahwa Simarbane adalah bonapasogit Sinurat. Konsekuensinya, dugaan bahwa keempat anak Sinurat(Raja Tano, Raja Pagi, Ompu Gumbok Nabolon dan Raja Muha) pernah tinggal di Simarbane dan berangkat merantau dari Simarbane adalah tidak tepat. Benar bahwa awalnya, ayah Sinurat, Sinabutar Raja Parmahana datang dari Silalahi Dolok-Balige dan berlayar lewat ke tepi pantai Danau Toba hingga tiba di Simarbane. Namun setelah menikah Pinta Omas Boru Manurung pomparan ni Ompuni Unggul, Sinabutar tak penah tinggal di Simarbane, dan kedua anaknya, Sinurat dan Nadapdap tidak lahir di sana.

  • Lokasi 3: Harangan Parik

Informasi mengenai desa Harangan Parik, kelurahan Sionggang Tengah, kecamatan Lumban Julu, kabupaten Toba kami peroleh dari Dr. Togar Manurung (pomparan Tulang Ompuni Unggul) dan keturunan Raja Tano (Ama Rotua Sinurat asal Lumban Julu dan Ama Lian Sinurat asal Sionggang Tengah. Letak desa Harangan Parik tak jauh dari bonapasogit Raja Tano di Huta Joring. Keberadaan tambak (makam) Raja Tano dan kedua anaknya Ompu Tabar dan Ompu Gumantar di Huta Joring bisa jadi petunjuk untuk menemukan bonapasogit Raja Sinurat yang konon tak pernah jauh dari anak sulungnya.

 
bonapasogit marga sinurat

Memang tak ada kisah spesifik dari keturunan Raja Tano yang mengatakan bahwa Raja Sinurat dan Raja Tano saling mengunjungi satu sama lain, walaupun jarak antara Harangan Parik dan Huta Joring hanya sejauh 4 km. Namun keturunan Raja Tano percaya bahwa Raja Tano berangkat dari Harangan Parik menuju Huta Joring. Artinya, Raja Sinurat dan keempat anaknya memang tinggal di Harangan Parik. Kemungkinan besar Sinabutar Raja Parmahan (Sinabutar II) pernah tinggal bersama Raja Sinurat. Dalam Arsip P. Sinurat (1985) ditegaskan bahwa Sinabutar Raja Parmahan cukup lama tinggal bersama anak bungsunya Nadapdap di Sibisa. Namun di masa tuanya, Sinabutar Raja Parmahan justru memutuskan untuk tinggal bersama anak sulungnya Raja Sinurat hingga wafatnya di huta Harangan Parik. Itu sebabnya tak ada data yang mengatakan bahwa Sinabutar Raja Parmahan dan Raja Sinurat saling mengunjungi, karena Sinabutar sendiri sudah tinggal bersama anaknya Raja Sinurat hingga wafatnya di Harangan Parik. Fakta ini sekaligus juga mementahkan anggapan bahwa Sinabutar Raja Parmahan (Sinabutar II) bermukim di Aek Natolu. Sebab jarak antara Harangan Parik dan Aek Natolu itu cukup jauh.

Keempat anak Raja Sinurat lahir di Harangan Parik. Setelah masing-masing anaknya menikah, mereka berangkat dari Harangan Parik menuju tempat perantauan mereka masing-masing. Raja Tano adalah anak yang pertamakali pergi. Ia menuju Huta Joring (lih. makam Raja Tano bersama kedua anaknya, Raja Tabar dan Raja Gumantar di Harangan Joring). Raja Tano disusul oleh Ompu Gumbok Nabolon yang pergi ke Samosir. Selanjutnya, Raja Pagi pergi ke Lumban Lobu, dan Raja Muha, tepatnya Manorus, anaknya pergi ke Mandoge, Tanah Jawa, Simalungun. Empat Anak Raja Sinurat.

Setelah beranjak dewasa, Raja Sinurat pun memutuskan untuk menikahi paribannya, yakni cucu dari Ompuni Unggul bernama Tapian Boru Manurung dari Sionggang, tak jauh dari Harangan Parik. Dari perkawinan itu lahir empat anaknya, yakni Raja Tano, Raja Pagi, Ompu Gumbok Nabolon dan Raja Muha Setelah merasa sudah mandiri, keempat anaknya keluar dari Harangan Parik. Keempat anak Raja Sinurat menghabiskan masa kecil hingga remajanya di Harangan Parik. Setelah merasa cukup mandiri, keempat anaknya pergi merantau ke tempat berbeda. Raja Tano pergi ke Huta Joring (lih. makam Raja Tano bersama kedua anaknya, Raja Tabar dan Raja Gumantar di Harangan Joring). Selanjutnya Ompu Gumbok Nabolon pergi ke Samosir, Raja Pagi pergi ke Lumban Lobu, dan Raja Muha (anak Manorus) ke Mandoge, Tanah Jawa, Simalungun.

Keturunan (Pinompar)

patota
 
Tarombo Raja Sinurat

Empat anak Raja Sinurat menghabiskan masa kecil hingga remaja mereka di harangan parik, sionggang selatan. Setelah merasa cukup mandiri, keempat anak sinurat dari perkawinannya dengan Pinta Uli Boru Manurung merantau ke tempat berbeda: Raja Tano pergi ke Huta Joring-Lumban Pea, Ompu Gumbok Nabolon pergi ke Samosir (Urat dan Buhit-Pangururan), Raja Pagi ke Lumban Lobu dan Raja Muha pergi ke Mandoge, Tanah Jawa. Masing-masing dari mereka menikah dengan Boru Manurung (Raja Tano), Boru Hutahaen (Raja Pagi) dan Boru Sitanggang (Ompu Gumbok Nabolon). Data tentang istri dan pomparan raja muha tak ada informasi yang valid.

1. Raja Tano

patota
  • Bonapasogit

Anak sulung Raja Sinurat, yakni Raja Tano berangkat dari Harangan Parik menuju Huta Joring; dan keturunannya menyebar ke Lumban Pea, Simarbane, Lumban Julu, dan beberapa tempat lainnya. Makam Raja Tano dan kedua anaknya, Op. Tabar dan Ompu Gumantar di Huta Joring menjadi bukti. Sebagian besar keturunan Op. Sorgo merantau ke Simarbane, pesisi Pantai Sionggang Selatan, Huta Joring dan Lumban Pea. Sementara beberapa keturunan Ama Julian menyebar ke Lumban Gorat dan Simarbane.

 
Huta Joring-Lumbanpea
  • Pinompar

Raja Tano menikah dengan Boru Manurung dan memiliki 2 anak, yaitu Ompu Tabar dan Ompu Gumantar. Ompu Tabar memiliki 3 anak, yakni Op. Pagar Silaon, Op. Pulau Batu dan Op. Sorgo. Sementara Op. Gumantar memiliki 1 anak, yakni Ama Gumantar; dan Ama Gumantar memiliki 3 anak, yakni Gumantar, Ama Juluan dan Humombang.

  • Warisan

Keberadaan tambak (makam) Raja Tano dan kedua anaknya (Op. Tabar dan Op. Gumantar) menjadi bukti yang menguatkan fakta bahwa Raja Rano dan kedua anaknya bermukim di Huta Joring. Dari Huta Joring inilah keturunan Op. Tabar dan keturunan Op. Gumantar menyebar ke Lumban Pea, Lumban Julu, Lumban Gorat, bahkan ke daerah Simalungun, Mandoge, Asahan, dan seterusnya.

 
pomparan rajatano

Dengan memperhitungkan jarak antara Huta Joring dan Harangan Parik, besar kemungkinan Raja Sinurat dan ketiga anaknya yang lain (Raja Pagi, Ompu Gumbok Nabolon dan Raja Muha) kerap mengunjungi Raja Tano di Huta Joring. Dengan demikian hubungan antara ayah dan anak, antara Raja Sinurat dan Raja Tano bisa dikatakan cukup dekat. Paling tidak Raja Tano pasti pernah mengajak sang ayah dan ibu serta adik-adiknya tinggal beberapa waktu di Huta.

  • Warisan

Dahulu kala manusia melakukan alatan (tafsir) sebagai petunjuk dalam melakukan suatu pekerjaan dan hal itu diteruskan oleh orangtua kepada anak-anaknya. Demikian juga ketika Sinurat melihat sebuah hau hariara (pohon besar) di mana daunnya yang sangat lebat dan ranting-rantingnya condong ke Timur. Ia pun menyuruh anak sulungnya, Raja Tano berangkat dari Harangan Parik menuju Huta Joring ke arah Timur. Di sanalah Raja Tano dan keturunannya bermukim hingga saat ini. Kepada anak sulungnya ini, Sinurat mewariskan hujur dan ogung yang di kemudian hari ia wariskan pula kepada keturunannya.

2. Raja Pagi

patota
  • Bonapasogit

Ada kisah menarik tentang penetapan huta yang akan di�tuju Raja Pagi. Untuk memutuskan kemana Raja Pagi akan pergi merantau, Raja Sinurat terlebih dahulu membaca tanda-tanda alam. Dari tanda-tanda alam inilah Raja Sinurat menyuruh Raja Pagi yang bergelar Tunggul Bauta yang berarti “na pausaga tu jolo tundun tu pudi, na gostong botohon dohot daging na bosik jala na begu/barani” pergi ke Lumban Lobu, Bonan Dolok. Singkat cerita, sesaat setelah tiba di Lumban Lobu, Raja Pagi lansung bergabung dengan raja-raja bius yang ada di tanah Uluan, mulai dari Sihiong hingga ke tepi Sungai Asahan-Danau Toba. Setelah merasa sudah saling mengenal dengan warga Lumban Lobu, Raja pagi yang saat itu belum menikah dengan Hissa Uluan Boru Hutahean memutuskan utnuk tinggal di Lumban Baringin, Lumban Lobu. Seperti kedua saudaranya, Raja Tano dan Ompu Gumbok Nabolon. Niatnya itu disampaikan kepada ayah dan abangnya, si Raja Tano. Setelah mendapat izin dan restu, Raja Tano pergi ke Lumban Lobu. Di Lumban Lobu ia hidup dan bekerja sebagai petani.

 
  • Pinompar

Setelah dirasa cukup mapan, Raja Pagi lalu menemui ibun�ya untuk meminta izin agar Tulang Manurung menemaninya ke Hutahean, Laguboti. Ternyatata Raja pagi bermaksud melamar putri Raja Hutahaean yang kemudian menjadi isterinya. Namanya adalah Hissa Uluan Boru Hutahean. Setelah melangsungkan perkawinan adat Dalihan Natolu di Laguboti, Raja Pagi kembali ke Lumban Lobu, tempat ia mencari nafkah. Dari pernikahannya dengan Hissa Uluan boru Hutahean lahirlah Raja Mangatur, Raja Somba Nailing, Raja Baringin, dan Tahombang. Keturunan Raja Pagi di kemudian hari menyebar ke Lumban Garaga, Janji Matogu Porsea dan Ujung Tanduk Laguboti, Simalungun, Asahan, dst. Keturunan Raja Ma-ngatur dari Ompu Sondang umumnya menetap di Ujung Tanduk dan Laguboti.

  • Warisan

Salah satu cucu Raja Pagi bernama Ompu Raja Ujung mendapatkan warisan berharga dari leluhurnya berupa piso alasan, tombur lada, bulang nalinutan, gundi (guci), pira ni palti, pinggan pasu, dan tukkot saurmatua sang ayah. Warisan ini diberi�kan langsung oleh ayahnya, Raja Pagi. Raja Pagi dimakamkan di Lumban Baringin, dekat Mual Parhombanan (mata air yang seke�lilingnya terdapat bunga-bunga sebagai tempat persembahan atau meletakkan sesajen). Hingga kini Makam makam dan mual Parhombanan ini masih bisa kita temuai di Lumban Baringin. Ada hal menarik tentang Mual Parhombanan ini. Alkisah, Raja-raja Bius Uluan, termasuk Raja Pagi mengadakan pertemuan dalam rangka menetapkan Raja Bius utama. Untuk itu mereka terlebih dahulu memutuskan di mana lokasi pertemuan.

Mereka lalu bertemu di Onan Nagodang dan bersepakat bahwa pertemuan penting itu akan diadakan di Onan Kampir (sebagai onan nagodang atau pasar terbesar di Uluan). Onam Kampir sendiri adalah wilayah bius Raja Pagi. Sehari sebelum pertemuan, mereka telah mempersiapkan hewan kurban berupa seekor kerbau sitingko tanduk, parbutuha mangalilit, parpusoran sitomu dalan, parmata mangalu-alu, na manggagat di balian, dung di huta marngalungalu. Kerbau itu lalu ditambatkan di Onan Kampir. Syahdan, diluar dugaan, malam itu turun hujan yang sangat lebat, hingga mengakibatkan banjir. Onan Kampir nyaris tenggelam, bahkan kerbau yang akan dipersembahkan ikut terseret banjir, hanyut hingga hilang entah ke mana.

Demi menghindari laknat dari roh leluhur karena hilangnya kerbau persembahan itu, esok paginya keduabelas Raja Bius mengadakan rapat mendadak. Hasil pertemuan itu menegaskan agar penepatan Raja Bius utama akan dijadwal ulang, tapi dengan satu syarat, yakni kerbau yang akan dipersembahkan harus sama. Itu artinya, kerbau yang hilang semalam harus ditemukan terlebih dahulu. Keduabelas Raja Bius itu menyepakati dua hal. Pertama, siapapun dari 12 raja bius yang menemukan kerbau yang hilang itu, maka otomatis akan menjadi Raja Utama (pemimpin atas 11 raja bius lainnya). Kedua, tempat di mana kerbau ditemukan akan ditetapkan sebagai Onan Nagodang atau pasar utama.

Selesai rapat, Raja Pagi pergi ke Harangan Parik untuk menemui ayahnya, Raja Sinurat. Ia lalu meminta masukan cara paling tepat dan cepat menemukan kerbau persembahan yang hilang. Ditemani oleh lae-nya Manurung (pamannya Raja Pagi), Raja Sinurat mengajak Raja Pagi keluar dan memberinya hoda sihapas pili (kuda putih) sebagai transportasi yang akan memudahkan misinya. Saat itulah Raja Sinurat berpesan kepada Raja Pagi, “Saat engkau mencari kerbau yang hilang itu, perhatikanlah gerak-terik kuda putih ini. Apabila kuda ini akan tiba-tiba berhenti sambil mengendus dan mengais tanah di sekitarnya, maka di sanalah kerbau itu berada dengan kondisi terkubur oleh lumpur.”

 
Pinggan Pasu adalah warisan Sinurat Raja Pagi

Benar saja, saat melewati huta Sirait Uruk, di tepi Danau Toba, kuda putih yang ia tunggangi melakukan persis seperti yang dikatakan ayah dan pamannya. Raja Pagi langsung menghentikan kudanya yang masih sedang mengendus dan mengais-ngais tanah di sekitarnya. Tak jauh dari tempat itu seekor kerbau yang sedang berjulang melepaskan diri dari perangkap lumpur. Raja Pagi bersorak gembira, “Eureka!” Peristiwa ini terjadi tengah malam menjelang pagi hari. Ternyata, sejak Raja Pagi menemui ayahnya ke Huta Harangan Parik hingga menemukan kerbau putih itu, kesebelas raja bius lain sudah menyerah dan hampir pustus asa. Mereka hanya berharap Raja Pagi muncul di pagi hari dan membawa kerbau yang hilang itu. Itu sebabnya mengapa Raja Pagi yang sedang membawa kerbau persembahan itu menuju Onan Nagodang disambut meriah oleh raja-raja bius dan warga di sana. Apa yang mereka harapkan sungguh kini terjadi.

Raja Pagi kemudian diarak, mulai Onan Kampir (tempat kerbau hilang itu terakhir ditambatkan) di hulu, hingga Aek Bang dan Aek Mandosi di hilir. Ini berarti rapat pemilihan Raja Bius Utama (Raja Dijolo) tetap dilakukan sesuai jadwal. Pada pertemuan itulah diambil dua keputusan penting, yakni Raja Pagi dinobatkan menjadi Raja Dijolo (Raja Utama) dan Sirait Uruk ditetapkan sebagai pusat Onan Nagodang sesuai dengan kesepakatan bersama kedua belas bius tersebut. Sebagai tambahan informasi, tak seorang pun yang tinggal di pusat Onan Nagodang hingga saat ini, karena tempat itu hanya diperuntuk�kan sebagai tempat pertemuan dan rapat duabelas raja bius yang ada. Bersamaan dengan itu, ke-12 bius itu juga bersepakat menentukan batas-batas raja bius di Uluan. Sebelah Timur (Purba) berbatasan dengan Lumban Sibinbin Naga Timbul. Lokasi ini juga membatasi bius-nya Raja Pagi dan bius-nya Tuan Nabolas (Raja Diatas Sitorus), dan sebelah Barat (Pastina) berbatasan dengan bius Sitorus Sibaruang dan bius Manurung Jangga berupa jalan ke arah Ajibata (dulu wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, dan sekarang termasuk wilayah kabupaten Toba).

Sebelah Selatan (Dangsina) berbatasan dengan raja bius Parungil�ungil Sitorus Silamosik, dan sebelah Utara (Julu) adalah wilayah kabupaten Simalungun. Sebagaimana dijelaskan oleh Drs. Josua Sinurat MM, salah seorang pomparanni Raja Pagi, Lumban Baringin adalah pemberian Raja Pagi kepada boru dan natua-tua Sirait. Selanjutnya di Onan Sibongbong, Lumban Lobu, ke�turunan Raja Pagi sebagai raja perpas (raja onan). Di sebelah kanan tugu Si Raja Pagi (sekitar 300 meter dari Lumban Lobu) terdapat jalan dari Porsea menuju Mual Parhombanan. Mual Parhombanan Raja Pagi ini dinamai Partangisan Raja Pagi (makam si Raja Pagi) sendiri terdapat di di Lumban Sihorbo dan hingga kini masih berfungsi dan masih digunakan.

3. Ompu Gumbok Nabolon

patota
  • Bonapasogit
 
Buhit, Pangururan

Ompu Gumbok Nabolon memiliki kharisma khusus. Ia dikenal juga sebagai sosok penyabar. Konon katanya, Ompu Gumbok Nabolon ini anak kesayangan ayahnya, Raja Sinurat. Itu sebabnya saat ia menyampaikan niatnya untuk pergi ke Samosir, sang ayah merasa sedih. Namun, karena kegigihan hatinya untuk pergi, sang ayah pun mengamini, tapi memberi satu syarat, yaitu meminta abangnya Raja Pagi turut mengantarnya ke Samosir. Disampung itu, kedua kakak beradik ini memang sangat akrab. Raja pagi dan Ompu Gumbok Nabolon pun berangkat dari huta Harangan Parik, berjalan menuju Simarbane lalu menyeberang dengan sampan hingga tiba di Sitamiang, Onan Runggu, Samosir. Itulah awal Ompu Gumbok Nabolon tiba di Samosir.

 
Perkampungan Buhit Pangururan

Untuk mendukung adiknya, Raja Pagi menyempatkan diri tinggal beberapa hari dengan Ompu Gumbok Nabolon. Tak hanya itu, sebagai kakak beradik yang sangat akrab, setelah Ompu Gumbok Naboloon tinggal di Samosir, Raja Pagi masih sering datang mengunjungi adiknya itu, terutama saat Ompu Gumbok Nabolon butuh bantuan dan dukungan sang abang. Begitu seringnya Raja Pagi datang mengunjungi adiknya ke Samosir, hingga orang-orang di sana kerap bingung yang mana Raja Pagi dan yang mana Ompu Gumbok Nabolon. Usut punya usut, ternyata kedua kakak beradik ini memiliki wajah dan perawakan yang sangat mirip. Tak mengherankan ketika warga Samosir sering mengira Ompu Gumbok Nabolon itu bisa berada di dua tempat pada waktu yang sama sekaligus. Mereka bahkan percaya kalau Ompu Gumbok Nabolon itu orang sakti.

  • Pinompar
 
Tarombo OGN

Ompu Gumbok Nabolon menikah dengan Boru Sitanggang Bau, putri Raja Bius Sitanggang yang dinikahi setelah ia tinggal beberapa waktu di wilayah Buhit, Pangururan-Samosir. Ompu Gumbok Nabolon adalah sosok berani dan berilmu tinggi. Itu sebabnya ia diangkat menjadi Ulu Balang (panglima) dan digelari Ompu Gumbok Nabolon. Dari perkawinan itu lahirlah empat orang anak laki-laki. Keempat anak laki-lakinya masing-masing diberi nama Batumamak (Si Batuamak), Si Bahul, Sibajar (Si Hambing Bajar) dan Silossing. Keempat anak Ompu Gumbok Nabolon kemudian berpencar, menyebar ke wilayah Samosir dan mendirikan huta-nya di tempat hulahula-nya. Menurut Kartius Sinurat, terdapat kurang lebih 15 huta Sinurat yang tersebar di wilayah Samosir. Ada yang jaraknya berdekatan, yakni di Buhit, Pangururan, tapi yang lain jaraknya berjauhan. Sehingga relasi namardongan tubu kurang intim. Sebagian besar dari mereka marhuta (tinggal) di Lumban Sinurat, Lumban Binanga, Pamodilan, Sigil Lombu, Salaon, Tiga Bolon, Sijambur, Urat, Tanjung Bunga, Pangururan, dll.

Batu mamak menikah dengan Boru Sitanggang dan memiliki 3 anak, yakni

  1. Ompu Hariara—menetap di Lumban Sinurat, menikah dengan boru Sitanggang dan memiliki 3 anak, yakni Ompu Bangutna, Ompu Paruju, dan Ompu Pangalumpat.
  2. Ompu Partahi Sagala (tinggal di Lumban Binaga, menikah dengan boru Sitanggang dan memiliki 3 anak, yakni Ompu Surimaganjang (Parmodian), Ompu Rama (Lumban Binanga) dan Ompu Podi (Sigil Lombu).
  3. Barita Lobi (boru Sitanggang) alias Guru Mangolat (boru Sitanggang) alias Raja Niusul (boru Sinaga) yang memiliki 9 anak, yakni Ompu Bunga Dolok (Salaon), Ompu Barita Hot (Tiga Bolon), Ompu Bungahot (Sijambur), Ompu Sumilan, Ompu Datu Ronggur, Ompu Pioan, Ompu Harangan (Salaon), Ompu Jahoda, dan Ompu Bumbunan (Urat). Anak kedua Ompu Gumbok Nabolon bernama Sibahul.

Sibahul memiliki 3 anak, yakni

  1. Ompu Bona Huta (memiliki 1 anak, yakni Ompu Sohalaosan),
  2. Ompu Burju (memiliki 1 anak, yakni Ompu Sotuganon), dan
  3. Raja Parulop (memiliki 1 anak, yakni Ompu Mora Sosunggulon).

Sibajar memiliki 3 anak, yakni:

  1. Sintong Raja (memiliki 1 anak, yakni Singgang Raja),
  2. Olo Raja dan
  3. Ompu Mangihut Raja (memiliki 2 anakm yakni Ompu Julam Raja dan Ompu Pareme).

Sebagai catatan, penulis tidak mendapatkan informasi lengkap mengenai anak bungsu Ompu Gumbok Nabolon, yakni Silossing dan keturunannya. Namun kemungkinan besar Silossing adalah keturunan dari Pintu Batu, dan bukan anak Ompu Gumbok Nabolon.

  • Warisan
 
Aek Sitobu Sira Samosir

Ompu Gumbok Nabolon mewariskan satu barang sakti yang dinamai tukkot palehat dan mata air ajaib bernama Aek Sitobu Sira kepada keturunannya. Tukkot palehat adalah tongkat yang dipercaya memiliki kekuatan untuk bekerja. Sayangnya tukkot palehat (tongkat ajaib) ini telah dijual oleh keturunannya kepada Pemerintah Hindia Belanda di jaman Kolonial. Pemerintah Hindia Belanda membeli tukkot tersebut karena dianggap sangat antik.

Aek Sitobu Sira yang diwariskan Ompu Gumbok Nabolon bagi warga “gurun” di desa Pardugul, Samosir. Mata air ini bahkan masih aktif dan banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal dan mancanegara yang datang ke Samosir hingga hari ini. Selain sakral, Aek Sitobu Sira yang terdapat di Desa Pardugul-Buhit, Pangururan, Samosir ini juga memiliki daya pikat, karena kisah unik dan menarik tentang asal-muasalnya. Jelas bahwa Aek Sitobu Sira merupakan mata air parsadaan (persatuan) seluruh marga Sinurat yang ada di Indonesia bahkan di Dunia. Mata air tersebut konon merupakan jawaban atas doa dari Ompu Gumbok Nabolon kepada Ompu Mulajadi Nabolon agar warga desa Pardugul-Buhit diberi air.

Alkisah, di masa itu warga mengalami kesulitan mendapatkan air karena musim kemarau yang berkepanjangan di desa Pardugul Samosir. Akibatnya penduduk setempat mengalami krisis air yang sangat luar biasa. Kekeringan yang terjadi bahkan sudah sampai pada batas yang sangat memprihatinkan. Dampak kekeringan itu tak hanya memengaruhi warga, tapi juga tanaman pertanian (sawah / ladang) dan ternak yang ada di desa tersebut.

Ompu Gumbok Nabolon beserta keturunannya sepakat untuk berdoa kepada Ompu Mulajadi Nabolon agar kekeringan tersebut segera berlalu. Hasilnya, Ompu Gumbok Nabolon Sinurat mendapat petunjuk dari Ompu Mulajadi Nabolon melalui sebuah penglihatan. Dalam penglihatan tersebut, Ompu Gumbok Nabolon diajari cara membuat mata air dengan cara menancapkan tongkat saktinya ke tanah, di tempat yang telah di tentukan Ompu Mulajadi Nabolon.

Sesaat setelah Ompu Gumbok Nabolon menancapkan dan mencabut tongkatnya, tiba-tiba saja dari tanah itu langsung memancar air yang begitu deras. Tentu saja keturunan Ompu Gumbok Nabolon begitu bahagia dan bersukacita atas mukjizat itu. Hebatnya, hingga kini air yang keluar dari tanah itu tak pernah berhenti walau terjadi musim kemarau yang berkepanjangan. Tak hanya itu, keajaiban lain juga terjadi pada air terse�but. Ketika warga yang didominasi marga Sinurat mengalami kelangkaan makanan, maka air tersebut menjadi solusi atas ke�laparan mereka. Hal ini terjadi karena di masa hidupnya, Ompu Gumbok Nabolon mengetahui betapa sulitnya makanan pada saat itu, sehingga ia menyarankan kepada keturunannya agar disaat lapar (setelah bekerja seharian di ladang) mereka cukup meminum air itu dicampur dengan garam (garam mudah ditemukan pada saat itu).

Mukjizat pun kembali terjadi. Rasa asin yang pada garam tiba-tiba berubah menjadi rasa manis seperti tebu. Selain perubahan rasa, warga yang meminum juga seketika itu tidak merasa lapar lagi, bahkan mereka dapat kembali bekerja karena kondisi tubuhnya sudah bugar kembali. Ompu Gumbok Nabolon Sinurat kemudian menamakan air tersebut Aek Sitobu Sira dan mematrinya dengan umpama, "Asim Daini Sira, tonggi daini Tobu, Aek naung tapitta, Nunga dapot dalan ni ngolu." (Garam rasanya asin, tebu rasanya manis, yang yang sudah kita minta sudah menjadi jalan kehidupan).

Hingga kini, Mata air Sitobu Sira selalu ramai dikunjungi oleh keturunan marga Sinurat bahkan dari seluruh Dunia. Mereka yakin bahwa Aek Sitobu Sira ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit apapun serta memberikan kebaikan bagi pengunjung.

4. Raja Muha

patota
 
Mandoge Tanah Jawa

Tak beberapa lama setelah Ompu Gumbok Nabolon merantau ke Samosir, si bungsu Raja Muha tetap bersama sang ayah di bertekad untuk merantau. Tekadanya itu kemudian justru diwujudkan oleh anaknya, Raja Manorus. Raja Manorus adalah sosok pemburu handal. Sebagaimana dikisahkan oleh salah satu tokoh Sinurat, Edison Sinarta Sinurat (Lampung), pekerjaan Manorus adalah pemburu aili (babi hutan) dan binatang lain. Dari pagi hingga sore, ia biasanya berburu ke harangan (hutan) di Dolok Simanukmanuk dan sekitarnya. Hasil buruannya akan ia dijual di pasar.

Pada suatu hari, ia pergi berburu seperti biasanya. Ia berha�dapan dengan binatang buruan yang tidak biasa. Seekor aili tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Manorus senang bukan main, tapi di sisi lain ia juga merasa ada yang ganjil. Biasanya ia harus mengitari hutan belantara untuk mencari buruannya, tapi kali ini justru buruannya yang mendatanginya. Seekor aili atau babi hutan kini ada di hadapannya. Mata aili itu menatap tajam dan tubuhnya memancarkan cahaya yang menyilaukan. Sebagai seorang pemburu yang handal, Raja Manorus mengesampingkan ketakutannya. Ia pun melemparkan tombaknya ke arah babi hutan itu dan tepat mengenai sasaran. Tapi keanehan muncul lagi. Kalau biasanya seekor binatang buruan pun tak mungkin bisa selamat dari tombaknya Manorus. Tapi babi hutan yang satu ini justru samasekali tidak mati.

Sebagai pemburu berpengalaman, Manorus penasaran. Ia lalu mendekati babi hutan itu untuk memastikan status buruannya. Betapa terkejutnya Manorus, ketika melihat babi hutan itu masih hidup dan sedang menatap tajam ke arahnya. Dengan rasa penasaran ia memberanikan diri mendekati buruannya itu. Saat itu pulah babi hutan itu lari dan menyelamatkan diri. Manorus tak mau kalah. Ia mengejar babi hutan tersebut. Tapi ia kalah cepat. Babi hutan justru “mengajak” Manorus berlari keluar dari Dolok Simanukmanuk menuju wilayah hutan di Tanah Jawa, Simalungun. Karena penasaran Manorus tetap mengejar babi hutan itu. Hingga babi hutan itu akhirnya berhenti di satu tem�pat, di sebuah wilayah kerajaan marga Sinaga di Mangode, Tanah Jawa, Simalungun.

Di sekitar istana penguasa wilayah itulah babi hutan itu bersembunyi, dan dalam kondisi yang nyaris mati ia meminta pertolongan sang raja. Manorus berada tak jauh dari tempat persembunyian babi hutan itu. Namun, babi hutan itu tiba-tiba berbicara. Manorus akhirnya sadar kalau babi hutan itu merupakan penjelmaan putri sang penguasa wilayah tersebut. Tak jauh dari tempat itu, Manorus menyaksikan babi hutan itu mengobrol dengan sang raja. Ia mendengar babi hutan itu sedang meminta tolong sang raja agar tombak di tubuhnya dicabut demi keselamatan jiwanya.

Hari itu juga sang raja mengumpulkan para pasukan dan rakyatnya. Kepada mereka, raja bermarga Sinaga itu memberi pengumuman yang isinya, “Barangsiapa mampu menyelamatkan putrinya dari kematian dengan mencabut tombak yang menembus tubuh sang putri, maka ia akan diangkat raja menjadi anaknya.”

Mendengar hal itu, Manorus bingung. Sejak menombak hingga mengejar babi hutan itu, ia hanya memikirkan betapa mahalnya babi hutan hasil buruannya itu. Ia membayangkan kalau among (ayah) dan ompung-nya akan senang menikmati daging babi hutan tersebut. Tetapi, barus saja ia mendengar bahwa babi hutan itu adalah jelmaan dari puterinya sang raja, maka niatnya berubah. Ia tak lagi ingin membawa binatang peliharaannya, tetapi mengambil kembali tongkat yang menancap di tubuh binatang buruannya itu. Untuk itu Manorus pun memberanikan diri bergabung dengan kerumunan massa untuk mengikuti lomba yang diselenggarakan raja.

 
Tarombo Raja Muha

Sadar sebagai orang asing dan tak seorangpun warga nagori (desa/kelurahan) itu yang mengenalnya, Manorus memberanikan diri mendaftarkan diri di barisan pemuda yang ikut lomba. Sebelum giliran Manorus, sudah banyak anak muda yang telah mencoba peruntungan mencabut tombak itu. Sayang tak satu pun dari mereka yang berhasil. Dan tibalah giliran Manorus. Sebelum melakukan aksinya, ia berseru kepada sang raja, “Baginda sang raja. Saya adalah keturunan Raja Sinurat dari Ha�rangan Parik. Ijinkan saya mengikuti lomba yang baginda selenggarakan ini.”

Suasana menjadi hening. Warga yang hadir fokus kepada sosok Manorus. Mereka penasaran dengan pria asing itu. Suasana menjadi gemuruh kembali saat raja mempersilahkan Manorus melakukan aksinya, menyelamatkan sang putri dengan men�cabut tombak dari tubuhnya. Manorus mendekati babi hutan yang masih terpenjara dalam tubuh seekor babi hutan itu. Manorus lalu berdoa kepada Ompu Mulajadi Nabolon agar diberi kekuatan dan kesaktian. Suasana pun tiba-tiba menjadi sangat tegang. Raja dan rakyatnya waswas. Mereka kuatir apabila Manorus gagal menyelematkan sang putri. Tapi bukan pinom-par Raja Parmahan namanya kalau ia mundur. Ia pun mencabut tombak yang menancap di tubuh sang puteri. Babi hutan itu pun kembali menjelma menjadi seorang puteri nan jelita dengan ek�spresi sedang tersenyum.

Sang raja dan hadirin kembali bertepuk tangan. Kini, mereka larut dalam kegembiraan. Sang Raja bermarga Sinaga itu pun memanggil Manorus naik ke atas tahtanya. Baginda raja menyampaikan rasa terimakasihnya kepada Manorus karena telah menyelamatkan puterinya dari jerat babi hutan dan dari kematian yang tak terhormat. Saat itu juga raja menepati janjinya. Raja mengumumkan kepada khalayak bahwa mulai saat itu Manorus telah diangkat secara resmi sebagai anak raja. Sebagai anak raja bermarga Sinaga, Manorus pun diberi tambahan marga Sinaga dibelakang namanya. Itu sebabnya keturunan Raja Sinurat, tepatnya pomparan dari Raja Muha yang kini bertempat tinggal di Mandoge, Tanah Jawa dan sekitarnya. Keturunan Raja Muha, tepatnya pomparan Manorus memakai marga Sinaga, dan tidak lagi memakai marga Silalahi atau Sinurat seperti pomparan Sinurat lainnya.

Hingga kini pomparan Raja Muha bahkan sudah maranak-marboru di sana hingga 11 generasi. Belakangan diketahui bahwa kisah konversi marga Sinurat ke Sinaga di atas memang bukan kisah fiktif belaka. Tak sedikit dari keturunan Raja Muha, tepatnya keturunan dari Manorus yang tingga di Mandoge dan sekitar kabupaten Simalungun sana yang mengaku bahwa mereka adalah keturunan dari anak bungsu Raja Sinrat, yakni cucu dari Raja Muha dan anaknya bernama Manorus. Tentu saja, sangat terbuka kemungkinan keturunan mereka kembali menggunakan marga Sinurat.

Penutup: Soliditas Pomparan Raja Sinurat

patota

Fakta menunjukkan bahwa persatuan di antara pomparanni Sinurat secara keseluruhan dirasa masih kurang solid. Sebagian besar pomparanni Sinurat cenderung lebih mudah menjalin relasi dengan pihak Hulahula (marga dari pihak istri) dan boru (saudari perempuan Sinurat: boru Sinurat) dibanding menjalin relasi dengan dongan tubunya, sesama pomparanni Sinurat itu sendiri. Berhadapan dengan kenyataan ini, marga Sinurat telah dan sedang mengupayakan berbagai cara menjalin relasi persaudaraan di internal mereka.

Upaya ini bahkan telah tampil jelas di kota-kota besar, seperti Medan, Jakarta, Bandung, Lampung, Riau, Jambi, dan daerah lainnya. Mereka tetap berupaya membentuk Punguan Sinurat, Boru dohot Bere di daerah-daerah tempat tinggla mereka. Sulitnya merajut kebersamaan diantara kakak-beradik (na marhaha-maranggi) atau keturunan dari empat anak Sinurat erat terkait dengan fakta bahwa sejak awal Sinurat dan keempat anaknya tidak tinggal bersama dalam waktu yang lama di satu kampung (huta), alih-alih dalam satu rumah. Mengenai hal ini penulis telah menegaskan di atas bahwa anak-anak Raja Sinurat sudah pergi merantau saat mereka masih remaja. Mereka meninggalkan kedua orangtuanya, Sinurat dan Pinta Uli Boru Manurung karena mereka merasa sudah mampu hidup mandiri.

Secara berurutan Raja Tano merantau lebih dulu ke Lumban Pea dan tinggal (marhuta) di sana. Raja Pagi menyusul dengan pergi merantau ke daerah Lumban Lobu. Tak lama setelah kedua abangnya merantau, Ompu Gumbok Nabolon juga pergi menyeberang ke Samosir dan marhuta di Urat dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Buhit, Pangururan. Sementara anak bungsu, Raja Muha disinyalir menjadi anak yang setia menemani orangtuanya. Namun anaknya yang bernama Manorus pergi meninggalkan kampung halamannya menuju Pasir, Mandoge, Tanah Jawa.

Tentu perpisahan dini di antara keempat anak Sinurat tak bisa dijadikan sebagai alasan untuk menyatukan seluruh pomparanni ompunta Sinurat. Tak cukup hanya membentuk punguan (perkumpulan, komunitas) yang menaungi semua pomparanni ompunta Sinurat yang ada saat ini. Punguan yang dibentuk semestinya menjadi pemersatu antara pomparanni ompunta Raja Sinurat yang dilandasi oleh kasih dan persaudaraan, sehati sejiwa, seia-sekata, “Sisada tahi, sisada lungun/sitaonon, sisada las ni roha, sisada anak, sisada boru, sisada ulaon”. Landasan inilah yang kelak membuat semua pomparanni ompunta Sinurat merasa memiliki dan bertanggung jawab atas keberadaan punguan Sinurat dan berupaya secara terus-menerus untuk membina persatuan kesatuan dan kebersamaan dengan sesama pomparan Sinurat.


Lusius Sinurat

Seluruh tulisan ini disarikan dari buku "Sinurat, Lusius.2023. Sejarah dan Tarombo Sinurat. Yogyakarta: Nasmedia.
  1. Seluruh tulisan ini disarikan dari buku "Lusius Sinurat. 2023. Sejarah dan Tarombo Sinurat. Yogyakarta: Nasmedia yang sebagian isinya telah disajikan dalam blog https://www.lusius-sinurat.com/2022/02/raja-sinurat.html.
  2. Sinurat, Lusius. 2023. "Sejarah & Tarombo Sinurat". Yogyakarta: Nasmedia, hlm. 1
  3. Sinurat, Lusius. 2023. "Sejarah & Tarombo Sinurat". Yogyakarta: Nasmedia, hlm. 74
  4. Sinurat, Lusius. 2023. "Sejarah & Tarombo Sinurat". Yogyakarta: Nasmedia, hlm. 74-75.
  5. Siahaan, Mangara Asal. 1946. Tarombo Tuan Sorbadibanua, Balige: 1962, hlm. 28
  6. Sinurat, Lusius. 2023. "Sejarah & Tarombo Sinurat". Yogyakarta: Nasmedia, hlm. 76
  7. Ibid. 77; bdk. Tigor Sirait, 2009 dan hasil wawancara dengan Tulang Dr. Togar Manurung keturunan Ompuni Unggul di Lumban Julu, 26/12/2021).